Bentuk ekspresi melalui “body art” berupa tato dan tindik meningkat terutama pada kalangan muda. Di Indonesia, minat terhadap seni pada tubuh juga berkembang, tanpa terhambat pandangan konservatif yang mengidentikkannya dengan konotasi negatif.
VOA — Sejumlah perusahaan besar seperti Disney, UPS, dan Virgin Atlantic membolehkan para pegawai untuk menampilkan tato mereka. Angkatan Darat Amerika Serikat (AS) juga mengizinkan anggotanya bertato. Bahkan kini anggota DPR Rosa DeLauro dari negara bagian Connecticut dan Senator John Fetterman dari negara bagian Pennsylvania tanpa sungkan menampilkan tato mereka.
Hasil studi Statista, platform data berbasis di Jerman, menunjukkan minat tato dan tindik semakin bertambah di kalangan muda Amerika, terutama generasi milenial dan Z. Layanan tato dan tindik kini semakin tersebar seiring meningkatnya minat. Laporan Pew Research Center belum lama ini menyatakan bahwa 32% warga Amerika kini memiliki tato, termasuk 22% yang memiliki lebih dari satu.
Rahajeng Ika, psikolog yang berpraktik di Rumah Sakit Cinere, Jakarta berpendapat gejala sosial tersebut terdorong oleh arus teknologi yang semakin deras. Akibatnta informasi semakin cepat berputar ke seluruh pelosok dunia dan memberi pengetahuan dan pandangan baru kepada semua orang yang menerimanya. Hal tersebut berperan dalam pengambilan keputusan seseorang seputar apa saja yang akan mereka akan lakukan dalam hidup.
“Nah, ketika orang tahu bahwa hasil penelitian mulai menunjukkan hubungan yang tidak dekat antara budaya tato atau tindik dengan kesehatan mental, bahkan ada penelitian yang menunjukan sebaliknya, bahwa mereka semua memiliki kemampuan yang baik dalam memaknai hidup mereka, dan menerima siapa mereka sebenarnya, maka otomatis ini kan dipandang positif ya. Karena mulai dipandang positif, maka ya siapa sih orang yang gak mau meniru hal yang positif?” katanya.
Adapun beberapa tujuan memiliki tato atau tindik, menurut Ika, antara lain sebagai bentuk ekspresi diri, menambah nilai estetika atau mempercantik diri, dan untuk mengenang seseorang atau menandai peristiwa atau momen dalam hidup.
Nadine Shahab sudah 6 tahun mempunyai tato. Total, ada tujuh tato kecil di tubuhnya, berbentuk gambar dan tulisan. Dulu, selagi SMA, ia pun memiliki banyak tindik di telinganya. Ketika memasuki kuliah, semua tindik ia copot. Bagi Nadine, setiap tato melambangkan hal yang penting dalam hidupnya.
“Salah satu tato yang mungkin belum lama aku bikin, belum ada setahun, itu tulisan tangan alhmarhum papa aku. Tulisan itu aku temukan dalam buku yang pernah dia kasih ke aku waktu kecil. Tulisannya cukup mesra lah gitu, jadi aku ambil satu potong bagian yang mengingatkan aku kepada beliau. Jadi, seakan-akan dia ada sama aku gitu,” katanya.
Nadine berpendapat bahwa tato atau tindik tidak berkonotasi negatif. Ia dan teman-temannya memandang itu sebagai seni. Ia bersyukur, kantornya tidak keberatan ia memiliki tato.
Bagi Muhammad Rizki, tindik yang ia miliki sejak tahun 2020 di lidah merupakan lanjutan dari tindik yang pernah ia lakukan sewaktu ia masih SMP. Kini, dalam usia menjelang akhir kepala 3, ia tidak mengkhawatirkan pandangan masyarakat terhadap tato dan tindik. Yang penting, keluarga bisa menerima. Masyarakat, kata Rizki, bisa menilai apakah kita tetap berguna dan baik di mata masyarakat.
“Gue punya dua arti filosofis yang melambangkan tindik gue di lidah ini. Yang pertama adalah, kalo mau bandel, jangan kelihatan. Yang kedua, yang namanya laki-laki itu jangan banyak omong (harus lebih banyak bertindak) apalagi bersilat lidah.”
Haning Kanti telah memiliki tato selama 12 tahun, total kini 54 tato di tubuhnya. Sedangkan koleksi tindik dimulai 4 tahun lalu, jumlahnya kini 9. Baginya, tato dan tindik melambangkan banyak hal dalam perjalanan hidupnya, baik dalam persahabatan maupun keberhasilan yang ia capai dalam usaha yang membawanya keluar dari zona kenyamanan. Dari sekian banyak, Haning mengaku, tato pertama tetap menjadi yang paling berarti dan mengubah hidupnya.
“Pada saat aku bikin tato pertama kali, itu aku dalam keadaan demam, dan itu sebelas setengah jam dibagi 3 sesi. Sampai sekarang, masih ingat rasanya, sakitnya dan bagaimana aku berdoa kepada Tuhan semoga aku kuat. Dan pas itu sudah selesai, aku kayak ngerasa ‘gila yah, aku ternyata bisa gitu loh, keluar dari comfort zone. Jadi, meaning dari tato pertama aku itu: ketika aku yakin, aku bisa, walaupun orang-orang under estimate.”
Haning mengatakan sejujurnya tato pertama tersebut membuatnya trauma karena sakitnya luar biasa, sehingga ia baru memberanikan diri untuk menambah tato setelah tahun ketiga. Ia selalu menambah tato ketika mendapatkan kisah dalam hidupnya yang perlu ia ingat. Baginya, hidup itu penuh perjuangan dan ketika ia berhasil melewatinya, di situlah ia membuat suatu lambang kisah tersebut pada tubuhnya.
Yudhistira Asikin juga mengatakan bahwa tato dapat mengingatkannya pada hal bermakna dalam hidup. Tekad untuk memiliki tato pada kedua lengannya baru datang menjelang usianya memasuki kepala 4 dengan pertimbangan pandangan orang tua dan faktor kemandirian. Dengan penuh keyakinan, Yudhis memilih nama kedua anaknya.
“Kebetulan kan tato yang saya buat ini nama anak-anak saya, baik yang di tangan kanan maupun di tangan yang sebelah kiri. Sebetulnya, itu kayak jadi pengingat aja sih buat saya, bahwa mereka ini adalah tujuan hidup saya. Jadi, saya bekerja ini memang buat mereka,” kata dia.
Semua pemilik tato dan tindik ini mengingatkan kepada mereka yang akan mulai bertato dan tindik agar benar-benar mempertimbangkan dengan matang pilihan tersebut. Gambar atau tulisan apa yang akan dijadikan tato dan lokasi tindikan. Ini adalah pilihan untuk selamanya, sampai akhir hidup. [VOA Indonesia]