KH. D. Zawawi Imron adalah sosok yang langka, seorang kiai sekaligus sastrawan yang membawa tradisi ke dalam dunia modern tanpa kehilangan ketulusan dan kejujuran dalam setiap karya dan ucapannya. Di usianya yang telah mencapai 82 tahun, ia masih begitu aktif dalam menggelorakan semangat literasi, memancarkan aura inspiratif bagi siapa pun yang berada di sekitarnya. Dikenal dengan kelakar dan jenaka khas Maduranya, beliau seakan menjadi sosok kearifan lokal yang beranjak menjadi legenda hidup di dunia sastra dan keagamaan Indonesia.
Semangat Literasi yang Tak Padam
KH. D. Zawawi Imron tak hanya dikenang sebagai sastrawan, tetapi juga seorang pendakwah yang menulis dengan hati. Karya-karyanya, seperti puisi “Madura Akulah Darahmu,” bukan sekadar rangkaian kata, melainkan jeritan cinta seorang anak negeri pada tanah kelahirannya. Meski telah berpuluh tahun berkarya, semangat literasi KH. D. Zawawi tak pernah padam. Dalam setiap kesempatan, ia berbagi pengalaman dan ilmunya dengan generasi muda, menanamkan kecintaan terhadap bahasa dan sastra yang tak lekang oleh waktu. Baginya, sastra adalah doa yang dituliskan, jalan untuk mendekatkan diri pada Tuhan dan sesama manusia.
Pada hari ketiga JSAT (Jakarta Street Arts Festival), ketika matahari baru saja menyinari bumi, KH. D. Zawawi menghangatkan suasana ngopi pagi dengan cerita-cerita lucu yang membawa gelak tawa. Tak ada kesan senioritas, yang ada hanyalah keluwesan dan kerendahan hati. Ia begitu terbuka pada semua kalangan, dengan kelakarnya yang penuh makna, beliau menyampaikan hikmah yang dalam namun ringan untuk dicerna. Kesederhanaannya dalam bercerita dan menghidupi sastra memberi contoh nyata bagaimana menjadi tua tanpa kehilangan rasa ingin berbagi dan menyebarkan semangat literasi.
Kejujuran dan Ketulusan yang Menginspirasi
Kejujuran KH. D. Zawawi Imron dalam berkarya dan berbicara merupakan teladan yang patut dicontoh oleh generasi muda. Dalam setiap kata yang dilontarkannya, ada pesan untuk selalu menjaga keaslian diri, untuk tak terjebak dalam tipu daya dunia. Karya-karya beliau adalah cerminan dari hatinya yang tulus dan jujur. Ia tidak menulis demi popularitas atau keuntungan pribadi, melainkan untuk menyuarakan apa yang dianggapnya benar dan penting bagi kemanusiaan dan keagamaan.
Karyanya yang penuh makna mengajak kita untuk melihat bahwa sastra bukan sekadar seni yang elok dipandang, melainkan wadah untuk menyuarakan nurani. KH. D. Zawawi tak ragu untuk berbicara blak-blakan, tetapi setiap kata yang keluar dari bibirnya terasa begitu bersahaja dan bermakna. Generasi muda bisa belajar darinya tentang ketulusan dalam berkarya, bahwa karya yang baik tak pernah lahir dari kepalsuan atau ambisi semata, melainkan dari hati yang tulus mencintai sastra dan manusia.
Warisan untuk Generasi Selanjutnya
KH. D. Zawawi Imron adalah bukti nyata bahwa usia bukanlah penghalang untuk tetap berkarya dan menginspirasi. Semangat beliau dalam dunia literasi adalah warisan tak ternilai bagi bangsa ini. Melalui ketekunan, kejujuran, dan sikap rendah hati, ia meletakkan landasan bagi generasi selanjutnya untuk tidak melupakan akar budaya dan untuk terus menulis sebagai bentuk cinta pada Tuhan dan bangsa. Warisan ini bukan sekadar karya yang tertulis, melainkan nilai-nilai luhur yang selalu ia tanamkan dalam setiap dialog, setiap puisi, dan setiap cerita jenakanya.
KH. D. Zawawi Imron menjadi pengingat bagi kita semua bahwa dalam dunia yang semakin cepat berubah, nilai-nilai tradisional yang murni tetap relevan dan patut dipertahankan. Beliau menunjukkan bahwa dalam kesederhanaan, dalam ketulusan, dan dalam kejujuran, terdapat kekuatan yang mampu menyentuh hati dan menginspirasi banyak orang. Kiranya generasi muda dapat belajar dari sosoknya, untuk terus menjaga semangat literasi, menjunjung tinggi kejujuran dalam berkarya, dan menghadirkan cinta dalam setiap kata yang terangkai.(*)
Rissa Churria adalah pendidik, penyair, esais, pelukis, aktivis kemanusiaan, pemerhati masalah sosial budaya, pengurus Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), pengelola Rumah Baca Ceria (RBC) di Bekasi, anggota Penyair Perempuan Indonesia (PPI), saat ini tinggal di Bekasi, Jawa Barat, sudah menerbitkan 10 buku kumpulan puisi tunggal, 1 buku antologi kontempelasi, serta lebih dari 100 antologi bersama dengan para penyair lainnya, baik Indonesia maupun mancanegara. Rissa Churria adalah anggota tim digital dan siber di bawah pimpinan Riri Satria, di mana tugasnya menganalisis aspek kebudayaan dan kemanusiaan dari dunia digital dan siber.