DEPOK – Penetapan Hari Lingkungan Hidup pada 1 Juni oleh PBB sejak tahun 1973 merupakan momentum penting untuk meningkatkan kesadaran seluruh dunia atas pentingnya menjaga lingkungan hidup. Menurut PBB, seluruh dunia saat ini sedang menghadapi tiga krisis planet (triple planetary crises) yang menentukan masa depan kehidupan yang baik dan sehat di Planet Bumi, yaitu: penipisan sumberdaya alam, perubahan iklim, dan polusi (tanah, air, udara dan
sampah).
Direktur Jenderal PSLB3, Rosa Vivien Ratnawati, menjelaskan, pada 35 tahun terakhir dunia menghadapi perubahan iklim berupa Pemanasan Global (Global Warming). Mulai tahun 2023 bahkan dikatakan sedang mengalami fenomena iklim baru yang dikenal dengan istilah Pendidihan Global (Global Boiling).
Istilah ini diungkapkan oleh Antonio Guteres, Sekjen PBB, pada 27 Juli 2023. Global Boiling adalah kenaikan suhu rata-rata pada atmosfer, lautan, dan daratan yang ekstrem sebagai dampak perubahan iklim. Fenomena perubahan iklim memberikan tekanan yang sangat berat terhadap degradasi lingkungan. Banjir, tanah longsor, kebakaran, kelangkaan sumber daya air, dan kegagalan panen karena kekeringan merupakan bentuk ancaman anomali iklim yang sering terjadi akhir-akhir ini.
“Degradasi lingkungan ini akan terus terjadi jika tidak ada perubahan perilaku manusia terhadap alam. Maka, perayaan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2024 berfokus pada restorasi lahan, menghentikan penggurunan, dan membangun ketahanan terhadap kekeringan dengan slogan Our Land. Our Future,” kata Rosa Vivien Ratnawati saat memberikan sambutan kegiatan Sedekah Hutan 2024 di Hutan Universitas Indonesia, Kampus Universitas Indonesia, Depok, yang diprakarsai Komunitas Budaya Bakul Budaya dan Makara Art Centre, Sabtu (1/5).
Terkait dengan hal tersebut, Rosa Vivien Ratnawati, menyampaikan bahwa tema Hari Lingkungan Hidup Sedunia tahun 2024 yang diselenggarakan oleh Pemerintah Indonesia adalah “Penyelesaian Krisis Iklim dengan Inovasi dan Prinsip Keadilan”.
Tema ini menjadi pengingat sekaligus ajakan bahwa penyelesaian akar masalah krisis iklim harus diselesaikan dengan terobosan dan inovasi yang dilaksanakan secara konsisten oleh seluruh pemangku kepentingan, serta mengedepankan prinsip keadilan dan inklusivitas.
Rosa Vivien Ratnawati juga menyampaikan dengan tegas bahwa kita, yang hadir di kegiaan Sedekah Bumi 2024, bukan hanya generasi Baby Boomers, Gen X, Millennials, Alpha, atau Gen Z. Tapi adalah Generation Restoration. Kita memang tidak bisa mengembalikan waktu, tapi kita bisa menumbuhkan hutan-hutan, memanen air hujan, melakukan adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim, melalui perubahan mindset dan perubahan gaya hidup.
Kita harus bisa menjadi generasi yang akan membawa kedamaian bagi lingkungan, melalui aksi nyata menjaga lingkungan. Kita dapat belajar dari praktek-praktek kearifan budaya masyarakat adat dan lokal dalam menempatkan bumi dan hutan sebagai bagian dari kehidupannya, karena lingkungan yang terjaga keasriannya akan membawa kualitas hidup yang baik dan bermakna.
“Berbicara tentang perubahan mindset untuk kemudian membawa kepada perubahan gaya hidup dapat dilakukan melalui cara-cara yang sederhana namun konsisten, yaitu mengurangi emisi dan menjaga lingkungan, dengan: memperbanyak menanam pohon, menjaga kelestarian hutan, melakukan penghematan sumber daya alam dan energi misalnya dengan menggunakan transportasi ramah lingkungan dan yang tidak kalah penting adalah melakukan praktek pengelolaan sampah yang baik dan benar,” ujar Rosa Vivien Ratnawati.
Acara Sedekah Hutan ini, menurut Rosa Vivien Ratnawati, merupakan simbolis dari bagaimana kita memperlakukan hutan dan lingkungan dan menerapkan gaya hidup yang bersahaja yang selaras dengan lingkungan hidup. Hal ini sesuai dengan hastag Hari Lingkungan Hidup Dunia #GenerationRestoration #WorldEnvironmentDay.(bud)